Powered By Blogger

12.04.2010

cerpen : SATU HARI YANG BERMAKNA

“Huuuh ….. Ibu tu lamaa banget siih , nanti aku telat nih …” teriak Dinda . Dinda adalah gadis mungil dan manja berusia 10 tahun , yang sekarang duduk di kelas 4 SD ini . Setiap hari Dinda diantar Ibu nya untuk berangkat ke sekolah . Maklum ayahnya sudah tiada . Sedangkan ke kakak Dinda sudah berangkat untuk bekerja Subuh tadi . Andi dan Ami adalah ketiga kakak Dinda . Andi sekarang sudah kelas 3 SMA , sedangkan Ami sudah kelas 2 SMA. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, Andi bekerja sebagai loper koran. Sedangkan Ami menjual gorengan di pasar dekat sekolahnya. Mereka bekerja untuk membantu Ibunya memenuhi kebutuhan sehari-hari. Padahal mereka sekolah juga karena mendapat beasiswa.

Kembali ke Dinda , “Aduuuh … Ibu tu ngapain lagi siih ??” teriak Dinda .
“Sebentar nak, Ibu baru menata kue untuk dijual dan dititipkan di kantin sekolah .” sahut Ibu sambil mengelus dada.

Sejak 15 menit yang lalu Dinda memang sudah naik di atas motor Ibu di depan rumah . Sebenarnya Dinda ingin pamer kepada teman-temannya bahwa sekarang ia diantar Ibu menggunakan motor dan bukanlah sepeda reyot yang biasa di pakai Ibu untuk mengantarnya dahulu . Motor itu Ibu dapatkan karena menang salah satu undian rejeki berhadiah. Itu pun Ibu tak tau kalau terdaftar sebagai peserta undian rejeki berhadiah. Maklum yang mendaftarkannya adalah anaknya, Andi. Dan, Alhamdulillah Ibu menang.

Beberapa menit kemudaian Ibu keluar rumah dengan membawa kerdus yang berisi makanan untuk dijual .
“Ayo Bu .. berangkat .. Ye…!!” teriak Dinda girang.
“Iya sayang …” ujar Ibu lembut sambil mencium kening Dinda.
Kemudian berangkatlah Ibu dan Dinda dengan senyum bangganya . 15 menit kemudian sampailah di sekolah Dinda.
“Ibu .. tunggu disini yaa..” ujar Dinda girang.
“Kamu mau apa sayang ? Pamit sama Ibu dulu .” ujar Ibu.

Tapi terlambat karena Dinda sudah terlanjur lari masuk ke dalam sekolah , Ia ingin memberi tahu temannya bahwa sekarang ia tak lagi diantar sepeda reyot Ibu. Ibu dengan sabar menanti Dinda diluar. Beberapa menit kemudian Dinda keluar sekolah dengan beberapa temannya.

“Tuh , liat kan . Aku enggak bohong , sekarang aku dianter pakek motor . wekk.” Ujar Dinda sambil mencibir kepada beberapa temannya.
“Dinda sayang , kamu enggak boleh sombong kepada teman- temanmu . Karena ini bukan motor kita . Ini hanyalah barang titipan dan rizki dari Allah. “ kata Ibu lembut sambil mengusap – usap kepala Dinda.
“Tapi bu … Dari dulu Dinda diejekin temen – temen karna pake sepeda reyot.” Sahut Dinda dengan muka memelas.
“Iya sayang . Kamu sabar saja menghadapi perlakuan teman – teman mu. Dinda harus jadi anak yang baik, dan tidak sombong ya ? Janji dulu sama Ibu .” ujar Ibu .
“emm .. tapi .. iya deh Dinda mau jadi anak yang baik dan enggak sombong lagi . Sueer .” celetuk Dinda sambil tersenyum
“Ya udah , sekarang Ibu pergi ke sekolah dulu ya , mau mengajar murid – murid Ibu sekalian menitipkan dagangan Ibu ke kantin sekolah.” Kata Ibu

Dinda berpamitan pada Ibunya . Kemudian Dinda masuk ke dalam kelas dan minta maaf pada beberapa temannya karena ia tadi telah menyombongkan diri. Lalu ada salah satu teman Dinda yang angkat bicara

“Kamu sih . Sok – sok an. Makanya gak usah sombong . Punya motor aja udah sok. Aku aja yang punya mobil biasa aja kok.” Kata Ita.
Sesungguhnya di dalam hati Dinda marah dan ingin sekali memukul Ita , tapi ia teringat perkataan ibunya untuk tetap sabar. Dinda tak menggubris perkataan Ita. Dia langsung menghindar dan duduk di tempat duduknya karena bel tanda sekolah berbunyi dan pelajaran akan segera dimulai. Suasana kelas tenang dan sangat kondusif hingga bel tanda mata pelajaran telah berakhir. Biasanya , Dinda pulang langsung di jemput Ibu,namun kali ini karena Ibu ada rapat seluruh guru , maka Ibu tak bisa menjemputnya. Kemudian ia berjalan kaki ke warung ibunya di dekat pasar karena biasanya jam segini, sudah jaga warung. Karena jarak warung tidak terlalu jauh dari sekolah Dinda, maka ia berjalan kaki. Saat mencapai pintu gerbang sekolah, ada teman Dinda yang menghampirinya.

“Eh ,, Dinda, mana motor baru mu ? Kog jalan kaki ? Jangan-jangan itu bukan motormu ya ? hahaha .. Makanya jangan sok pamer . hahaha .” celetuk Ita dengan nada menghina dan sambil menjulurkan lidahnya .
“Sabar Dinda . Sabar . Orang sabar di sayang bunda.” Kata Syifa , sahabat Dinda mengingatkan Dinda tuk selalu bersabar.
Ucapan Syifa membuat Dinda tertawa geli.
“Bukan disayang Bunda, Syifa, tapi disayang Tuhan .”sahut Dinda.
“Yee .. Bebas dong. Kan maksudku , kalo kita disayang bunda, nanti kita juga disayang Tuhan. Akhirnya kan sama .” celetuk Syifa.

Dinda dan beberapa teman yang lain hanya tersenyum. Ita semakin geram karena Dinda tidak marah dan menanggapi perkataannya tapi malah tertawa mendengar celetuk Syifa. Ita ingin membalas perkataan Syifa tadi , tapi sayangnya dia sudah dijemput sopirnya jadi ia harus pergi. Kemudian Dinda juga berpamitan dengan teman – temannya untuk pulang.

Di tengah teriknya matahari, Dinda yang mungil berjalan ke arah pasar. Setelah beberapa saat Dinda sampai di warung dan telah ada kakaknya, Ami.
“Mbak Ami, Dinda capek , haus pengen minum es sama maem kuenya. Boleh ambil ya ?” rengek Dinda pada Ami.
“Eh , ini dagangan Dinda, kamu minum air putih dan maem gorengan yang di belakang aja ya ?” Sahut Ami sambil melayani beberapa pembeli.
“hmmm.. Iya deh.. Aku nunggu Ibu jemput aja lah.” Kata Dinda

Lama tidak terdengar perkataan Dinda, kemudian Ami menoleh ke belakang. Ternyata adiknya itu telah tertidur pulas. Kemudian, datanglah kakak Dinda yang lain, Andi. Andi gemas melihat Dinda tertidur, ia membangunkan Dinda.
“Aduh .. Kak Andi tu ngapain sih ? Aku tu capek tau . #^%$)@* .” sahut Dinda dengan kesal .
“Apa ? Adek ngomong apa ?” Tanya Andi geli.

Andi memang senang mengganggu adiknya yang kecil itu, sementara Ami hanya tersenyum melihat kedua saudaranya itu. Diam-diam ada yang memperhatikan mereka dari kejauhan dengan tatapan iri.
Setengah jam kemudian, Ibu datang ke warung dengan wajahnya yang terlihat sangat lelah.
“Andi, antar kedua adekmu ini pulang. Sekarang biar ibu saja yang jualan.” Kata Ibu.
“Aku maunya pulang sama Ibu , enggak mau sama si Abang Andi ,” Sahut Dinda kesal.
“Iya bu, lebih baik Ibu sama Dinda saja yang pulang. Besok kan hari Minggu, sekolah libur, biar Andi dan Ami saja yang jualan. Ibu kan sudah lelah tadi seharian mengajar.” Ucap Andi dengan tegas.
“Iya Bu. Ibu kan capek dari kemaren keja terus, sekarang biarkan aku dan kak Andi yang berjualan bu. Ibu istirahat saja di rumah. “ sahut Ami dengan lembut.

Diam – diam Dinda juga merasa kagum dengan Abangnya ini. Ia tak menyangka abangnya akan berkata seperti itu. Abangnya merupakan salah satu PASKIBRA yang terpilih untuk mengibarkan bendera pusaka di Istana Kenegaraan. Sedangkan kakaknya, Ami pernah menjuarai beberapa lomba KIR dan memenangkan juara 2 dalam olimpiade Fisika se-DIY. Kakaknya telah tumbuh menjadi orang yang sukses dan bisa membanggakan orang tua, tapi kedua kakaknya tetap renah hati dan mau bekerja. Kemudian Dinda bertekad untuk menjadi seperti kedua kakaknya yaitu dapat membanggakan orang tua. Dinda tenggelam dalam fikirannya. Kemudian ada suara yang mengagetkannya

“Ibu bangga dengan kalian , anak – anak ibu. Ibu sayang kalian semua. Ingat, selalu rukun dengan saudara – saudara mu. Saling membantu dan menolong. Gapailah cita – cita kalian setinggi langit. Jangan sepeti Ibu cuma jadi guru. Ibu ingin kalian menjadi orang yang sukses dunia dan akhirat kelak. “ ujar Ibu lembut sambil membelai dan mencium ketiga kening anaknya itu.

Dinda merasakan sayang dan tulus dari Ibunya itu. Ia sangat menyayangi keluarganya.
“Heh , adek kecil, ngapain ngelamun ? Tuh udah ditunggu Ibu.” Ujar Andi sambil mengusap – usap kepala Dinda.
“Iya .. iya .. Bentar toh . Aku kan lagi siap – siap.” Sahut Dinda.
Kemudian, Ibu dan Dinda pergi , seraya melambaikan kedua tangannya kepada kedua kakaknya di toko. Dinda dan Ibu berbincang – bincang sepanjang jalan. Ibu menasehatinya agar mejadi anak yang baik dan dapat dibanggakan , lalu Dinda juga tidak oleh bertangkar dengan kedua kakaknya dan harus saling tolong menolong. Dinda berfikir dalam lamunannya , kelak kalau sudah besar , Ia akan menjadi orang yang sukses dan membawa Ibunya untuk pergi Haji. Karena itulah keinginan beliau yang paling dalam.

Jalan dilalui dengan mulusnya, sampai tiba – tiba ciiit , brek. Aduh, jantung Dinda berdegup kencang . Dinda tak sanggup berkata apa – apa. Dinda hanya membisu dan terdiam. Sementara, banyak orang datang mengkerumuni mereka. Dinda terlempar jauh dari motor. Ia hanya bisa menangis sesenggukan. Bukan karena luka gores yang ada di tangan dan lututnya, tetapi ia melihat Ibunya terluka parah dan sudah tidak bergerak. Beberapa warga menolong Dinda dan Ibunya, namun sayang, nyawa Ibunya sudah tak tertolong lagi. Ibu yang selama ini menemaninya, yang selalu mencium kedua keningnya, yang selalu menasehatinya, yang meninabobokannya, yang selalu mengantarnya kemanapun, Ibu yang sangat Dinda sayang telah tiada. Dinda tak tau bahwa hari ini adalah hari terakhir ia bersama ibunya. Beberapa saat kemudian, kedua kakak Dinda datang karena telah dihubungi beberapa warga. Dinda menyesal dengan apa yang ia lakukan pada Ibu. Dinda menangis di pelukan Kak Ami yang juga menangisi kepergian Ibunya. Hanya Andi yang mampu menahan tangisan dan berdiri tegak untuk membantu Ibunya diangkut ke mobil ambulance. Hari itu juga Ibunya di makamkan. Mereka bertiga kini hidup sebatang kara, meski dapat santunan, uang pensiun dan uang asuransi dari ayah dan ibunya. Mereka tetap meneruskan perjuangan Ibunya. Seperti pesan Ibunya, mereka harus menjadi orang yang sukses dan saling tolong menolong antar saudara.

Sepuluh tahun kemudian.
“Hiks.. Sekarang itu hanya kenangan. Aku sudah menjadi apa yang Ibu minta. Aku akan terus menggapai cita – citaku setinggi langit Bu.” Ujar Dinda sambil menaburkan bunga.
“Kini kami telah menjadi orang yang sukses bu. Orang yang bisa Ibu banggakan. Dinda telah kuliah di Fakultas Kedokteran Umum UGM melalui beasiswa bu. Ami telah menjadi peneliti ilmu atom di Amerika Bu. Dan aku telah menjadi perwira TNI bu. “ kata Andi seraya menaburkan bunga.
Mereka kembali menitikkan air mata. Hari itu adalah Hari Raya Idul Fitri, dan mereka berziarah ke makam Ibu dan Ayah mereka seraya mendoakan kedua orang tuanya. Mereka telah mampu menggapai cita – cita mereka walaupun yatim-piatu. Walau dengan uang pas-pas an mereka tetap mampu untuk meneruskan pendidikan dan membuat orang tuanya bangga walau sudah tiada.


***

Nb:hanya karangn semata maaf bila ada kesamaan nama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar